Ketika Perusahaan Rugi Tetap Dipajaki
Banyak sekali alternatif kebijakan pajak yang dilontarkan, semenjak pandemi. Harapannya pajak sebagai sumber pendapatan utama negara, menjadi penolong pemulihan ekonomi pasca pandemi.
Sebut saja ada: insentif pajak, revisi PPN, dan ada pula yang disebut dengan Alternative Minimum Tax atau biasa disingkat AMT. Alternatif terakhir lebih dikenal sebagai pajak yang dikenakan untuk perusahaan yang mengalami kerugian. Apakah benar demikian?
Untuk tahu lebih banyak, artikel ini akan membahas tentang AMT.
Apa Itu AMT?
AMT atau jika dibahasakan Indonesia adalah alternatif pajak minimum, adalah salah satu kebijakan perpajakan yang masih diusulkan kepada pemerintah. Jadi sampai artikel ini tayang, masih belum ada ketentuan untuk penerapannya. Masih rencana yang dibahas di tingkat DPR.
Meski masih rencana, tentu bakal ada pengaruh perpajakan ke depannya. Ok, sebelum memikirkan dampaknya, maka mari kita pahami pengertiannya dahulu.
AMT secara sederhana adalah pengenaan pajak pada perusahaan yang melaporkan kerugian kepada Dirjen Pajak. Wah sudah rugi kok dipajakin? Lanjut baca.
Negara Mana Saja Yang Sudah Menerapkan AMT?
Ternyata AMT bukan ide murni pemerintah Indonesia. Sudah ada beberapa negara yang menerapkannya. Diantaranya adalah: Korea Selatan, Tanzania, Belgia, Kanada, Selandia Baru, Afrika Selatan, dan Argentina.
Mengapa Diterapkan AMT?
AMT adalah upaya untuk mencegah penghindaran pajak, atau meningkatkan kepatuhan pajak. Karena ada perusahaan yang telah melaporkan kerugian selama lima tahun berturut-turut, namun perusahaannya masih tetap beroperasi. Sedangkan kasus tersebut trend-nya terus mengalami peningkatan mulai 2012 hingga 2019. Diindikasikan kejadian tersebut merupakan dampak dari transfer pricing.
Dengan AMT maka berfungsi layaknya safeguard. Maksudnya ada jaminan bahwa setiap perusahaan membayar pajak minimum kepada negara.
Bagaimana Penerapannya?
AMT tentu saja butuh kerjasama dari wajib pajak, yakni melalui pengungkapan sendiri. Usulan kebijakan ada dua. Pertama adalah bagi wajib pajak yang pengungkapan pajaknya hingga 31 Desember 2015 belum disampaikan saat tax amnesty, maka dikenakan PPh final 15% dari nilai aset atau 12,5% dari nilai aset jika diinvestasikan dalam SBN. Dengan melakukannya, maka wajib pajak akan memperoleh penghapusan sanksi pajak.
Bagi wajib pajak yang gagal menginvestasikan asetnya pada SBN, maka diwajibkan membayar 3,5% dari nilai aset jika mengungkap sendiri, dan 5% jika diungkap oleh dijen pajak (DJP).
Kedua adalah bagi wajib pajak yang memperoleh aset sepanjang 2016-2019, dan masih dimiliki hingga 31 Desember 2019 yang belum dilaporkan pada SPT 2019. Pengungkapan aset golongan ini akan dikenakan PPh final 30% dari nilai aset atau 20% jika diinvestasikan dalam SBN. Untuk wajib pajak ini juga dikenakan penghapusan sanksi pajak.
Sedangkan wajib pajak yang gagal berinvestasi pada SBN, maka berkewajiban membayar 12,5% dari nilai aset jika kegagalan investasi diungkap sendiri, atau 15% dari nilai aset jika diungkap DJP.
Ada pula yang dikecualikan dari AMT.
Tidak semua wajib pajak atau perusahaan yang mengalami kerugian, akan dikenakan AMT. Diantara wajib pajak yang dikecualikan dari pengenaan AMT, yaitu: wajib pajak badan yang belum berproduksi secara komersial, wajib pajak yang secara natural mengalami kerugian, dan wajib pajak yang memanfaatkan fasilitas-fasilitas seperti tax holiday dan sebagainya.
Kapan Mulai Diterapkan Di Indonesia?
AMT masih dalam tahap usulan dan pembahasan di DPR pusat mengenai revisi UU KUP (Ketentuan Umum Perpajakan). Meski demikian masih belum ada penetapan waktu penerapannya. Tetapi tentunya sudah tidak lama lagi, mengingat pajak menjadi andalan untuk pemulihan ekonomi.