Cryptocurrency atau uang kripto di Indonesia mengalami pertumbuhan yang cukup pesat. Per Maret 2021 berdasarkan catatan Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi (Bappebti), transaksi uang kripto telah mencapai Rp126 triliun. Tentu saja bukan nilai yang sedikit.
Jenis uang satu ini, adalah produk dari perkembangan teknologi digital. Sehingga tidak ada bentuk fisik, namun cukup digital. Akan tetapi dapat diakui sebagai alat pembayaran, investasi, bahkan bisa diwariskan.
Meski masih banyak negara yang ragu dengan uang kripto, perkembangannya tidak bisa dengan mudah dibendung. Sebagai mata uang yang tidak berada di bawah yurisdiksi hukum manapun, uang kripto memang cukup unik dan menarik. Nilainya naik turun, dengan bebas, tergantung kepada para penggunanya.
Sebab karakternya yang demikian, dengan peminat yang tinggi, maka perlahan tapi pasti uang kripto mulai diakui. Belum sepenuhnya bisa dipergunakan untuk pembayaran. Namun rata-rata untuk investasi, dengan harapan nilainya akan terus mengalami kenaikan.
Dengan potensi yang menarik tersebut, maka beberapa negara sudah mulai mengenakan pajak untuk uang kripto. Mengingat potensi kapitalisasi pasar uang kripto yang sudah mencapai US$1,72 triliun per Mei 2021 (coinmarketcap, 2021).
Pajak Uang Kripto Di Berbagai Negara
Amerika Serikat sebagai pemimpin dalam hal digitalisasi, mewajibkan pemilik uang kripto untuk melaporkan kepemilikannya pada IRS. Tentu saja untuk keperluan perpajakan. Di Negara Paman Sam tersebut, uang kripto diperlakukan sebagaimana properti. Sehingga pengenaan pajaknya, sesuai dengan pajak properti.
Selain itu, uang kripto yang digunakan sebagai investasi, akan dikenakan capital gain tax. Hal tersebut juga berlaku di negara-negara seperti: Australia, Inggris, dan Canada.
Di Cordoba salah satu provinsi di Argentina, menerapkan pajak khusus uang kripto sebesar 4% hingga 6,5% dari pendapatan kotornya. Kemudian untuk pembayaran dengan menggunakan uang kripto, juga akan dikenakan pajak tambahan sebesar 0,25%.
Uang kripto dikenakan PPN (Pajak Pertambahan Nilai), diterapkan di negara Thailand dengan tarif 7%, dan Israel 17%.
Sedangkan Korea Selatan recananya akan mengenakan PPh (Pajak Penghasilan) atas uang kripto, sebesar 20%. India juga berencana untuk mengenakan PPh dan PPN terhadap uang kripto.
Kalau Indonesia?
Sampai saat ini, pemerintah Indonesia belum mengenakan pajak terhadap uang kripto. Namun melihat potensinya, pemerintah sudah mulai meliriknya untuk dikenakan pajak.
Akan tetapi masih perlu adanya kajian mengenai jenis pajak yang akan dikenakan.
Jika keuntungan yang diperoleh dari transaksi uang kripto, memang termasuk tambahan penghasilan, sesuai dalam Pasal 4 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 s.t.d.d. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan (UU PPh), maka layak untuk dikenakan PPh.
Apabila akan dikenakan PPN, maka perlu untuk mengacu pada Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 s.t.d.d. Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009 tentang Pajak Pertambahan Nilai (UU PPN).
Dengan demikian asas keadilan akan tetap bisa diterapkan. Tidak asal mengenakan pajak terhadap uang kripto. Padahal kedudukannya sebagai komoditi, sedang mengalami kenaikan yang stabil dan signifikan.