Dropshipping adalah salah satu model jual beli online yang tidak asing lagi. Siapapun bisa melakukannya, hanya dengan bermodal kuota internet dan smartphone. Foto produk, kemudian jual.
Sebenarnya bagaimana pandangan islam tentang model jual beli, dropshipping?
Diriwayatkan oleh Amru Bin Syu’aib, bahwa Rasulullah bersabda:
“Tidak halal jual beli dengan syarat diberi hutang, serta dua syarat dalam jual beli serta menjual apa yang tidak kamu miliki.” (HR. an-Nasa’i)
Dalam hadist yang diriwayatkan Nasa’i, disebutkan dengan gamblang, bahwa penjual harus memiliki barang yang dijual. Jika tidak, maka bisa dikategorikan sebagai jual beli yang haram.
Berkaitan dengan dropshipping, barang yang dijual belum menjadi pemilik penjual sendiri. Sebab ia hanya menawarkan barang. Nah, dropshipping sendiri melibatkan tiga pihak, yaitu supplier sebagai penyedia barang, dropshipper sebagai perantara, dan pembeli sebagai pengguna barang.
Kalau sudah demikian, maka sekilas model tersebut mirip dengan makelar, yang dalam syariah disebut samsarah. Posisi makelar dalam hal ini adalah perantara yaitu dropshipper.
Samsarah dalam islam, mensyaratkan agar antara suplier dan dropshipper saling bersepakat. Kesepakatan tersebut adalah mengenai pengetahuan akan barang, harga, termasuk imbalan yang akan diterima oleh perantara. Kemudian juga barang yang diperjual-belikan ada jaminan tidak akan berubah sampai di tangan pembeli. Sehingga ada jaminan barang tetap baik sampai di tangan pembeli.
Dropshipping sendiri ada dua macam. Pertama adalah tanpa kesepakatan dengan suplier, dan ada kesepakatan dengan suplier.
Dropshipping Tanpa Kesepakatan Dengan Supplier
Untuk kondisi pertama, dropshipper tidak membuat kesepakatan dengan supplier. Mereka hanya menyediakan katalog barang dan menjualkannya. Kemudian menyerahkan segala kesepakatan kepada kedua pihak.
Dari kondisi tersebut, seringkali pembeli adalah yang paling dirugikan. Karena dropshipper tidak memiliki pengetahuan cukup atas barang yang dijualnya. Serta ia tidak bertanggung jawab atas barang yang dijualnya.
Apabila yang terjadi demikian, maka semua mazhab kecuali hanafi menghukuminya sebagai haram. Mazhab hanafi tidak memberikan hukum yang sama, karena beranggapan, ada usaha yang dilakukan dalam dropshipping tersebut.
Dropshipping Melalui Kesepakatan Dengan Supplier
Sedangkan model kedua adalah terjadi kesepakatan antara dropshipper dan supplier. Sehingga model tersebut memenuhi persyaratan samsara atau makelaran dalam islam.
Dalam hal ini dropshipper memang benar-benar mengetahui barang yang dijualnya. Bahkan telah membentuk kesepakatan dengan suplier mengenai insentif yang bakal diperolehnya.
Jika dropshipping yang dilakukan adalah demikian, maka diperbolehkan atau halal. Semua mazhab dalam islam juga membolehkannya.
Oleh karenanya sebelum melakukan dropshipping atau menjadi dropshipper, sebaiknya diteliti terlebih dahulu, termasuk ke golongan pertama atau kedua. Sehingga kegiatan bisnis yang dilakukan, bisa tetap membawa kebaikan sesuai dengan syariah islam.
Wallahua’lam.